Minggu, November 29, 2009

..Kaki GAJAH..



Tentu teman-teman sekalian tidak asing mendengar penyakit yang akan saya kupas sedikit pada postingan kali ini karena beberapa minggu yang lalu seluruh media baik cetak maupun elektronik di Indonesia ramai memberitakan penyakit ini. Mendadak penyakit menular ini menjadi wabah yang menakutkan di suatu daerah di Jawa Barat.

Penyakit Kaki Gajah yang dalam istilah medisnya disebut dengan Elephantiasis atau Filariasis adalah penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di wilayah tropika seluruh dunia. Penyebabnya adalah
infeksi oleh sekelompok cacing nematoda parasit yang tergabung dalam superfamilia Filarioidea. Di antara spesies antropofilik yang paling ganas ialah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori, Onchocerca volvulus, dan Loa loa. Dari nematoda itu, menurut Prof.Dr.Herdiman Pohan, Sp.PD, KPTI dari Guru besar FKUI/RSCM, Brugia dan Wuchereria merupakan spesies terbanyak yang ditemukan di Indonesia, sementara Onchocerca dan Loa loa tidak terdapat. Selain itu, Mansonella ozzardi, Mansonella perstans, serta Mansonella streptocerca, tidak terlalu populer di Indonesia dan penyakit yang ditimbulkan tidak terlalu parah.

Sekitar 120 juta orang terinfeksi dengan organisme ini di berbagai negara tropis dan subtropis yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
Culex, Aedes dan Anopheles yang banyak hidup di sekitar kita, apalagi saat musim hujan seperti sekarang ini. Setelah tergigit nyamuk, parasit (larva) akan menjalar dan ketika sampai pada jaringan sistem limfe maka berkembanglah menjadi penyakit tersebut.

Prinsip patologis penyakit filariasis bermula dari inflamasi saluran limfe akibat dilalui cacing filaria dewasa (bukan mikrofilaria). Cacing dewasa yang tak tahu diri ini melalui saluran limfe aferen atau sinus-sinus limfe sehingga menyebabkan dilatasi limfe pada tempat-tempat yang dilaluinya. Dilatasi ini mengakibatkan banyaknya cairan plasma yang terisi dari pembuluh darah yang menyebabkan penebalan pembuluh darah di sekitarnya.

Akibat kerusakan pembuluh, akan terjadi infiltrasi sel-sel plasma, esosinofil, serta makrofag di dalam dan sekitar pembuluh darah yang terinfeksi. Nah, infiltrasi inilah yang menyebabkan terjadi proliferasi jaringan ikat dan menyebabkan pembuluh limfe di sekelilingnya menjadi berkelok-kelok serta menyebabkan rusaknya katup-katup di sepanjang pembuluh limfe tersebut. Akibatnya, limfedema dan perubahan statis-kronis dengan edema pada kulit di atas pembuluh tersebut menjadi tak terhindarkan lagi.

Adapun gejala akut yang dapat terjadi antara lain :


  • Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat.

  • Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit.
  • Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis).
  • Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
  • Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema).
Diagnosis praktis ditegakkan dengan menemukan parasit tersebut baik dalam keadaan hidup ataupun mati. Dalam kasus filariasis, parasit berupa cacing dewasa hampir tidak mungkin ditemukan secara utuh karena terletak di dalam pembuluh limfe yang dalam dan berkelok-kelok. Karenanya diagnosis filariasis ditegakkan dengan penemuan mikrofilaria di darah tepi. Jika pasien sudah terdeteksi diduga kuat telah mengalami filariasis limfatik, penggunaan USG Doppler diperlukan untuk mendeteksi pergerakan cacing dewasa di tali sperma pria atau di kelenjar mammae wanita.

Untuk pengobatannya dari dulu sampai sekarang DEC merupakan pilihan obat yang murah dan efektif jika belum bersifat kronis. Selain DEC, terdapat pula Ivermectin yang sampai sekarang harganya pun semakin murah. Diethilcarbamazyne (DEC, 6 mg/kgBB/hari untuk 12 hari) bersifat makro dan mikrofilarisidal merupakan pilihan yang tepat untuk individu dengan filariasis limfe aktif (mikrofilaremia, antigen positif, atau deteksi USG positif cacing dewasa). Meskipun albendazole (400 mg dua kali sehari selama 21 hari) juga mampu menunjukan efikasi yang baik.

Yang penting selain pengobatan klinis filariasis ialah edukasi dan promosi pada masyarakat sekitar untuk memberantas nyamuk dengan gerakan 3M, sama seperti pemberantasan demam berdarah. Selain itu, di beberapa tempat perlu juga dilakukan pemberian DEC profilaksis yang ditambahkan ke dalam garam dapur khusus untuk masyarakat di daerah tersebut. Namun yang belakangan tidak terlalu populer di Indonesia.

Keterangan lebih lanjut dapat dilihat di sini:
Gambar dari wikimedia dan dinkes.

4 komentar:

nh18 mengatakan...

Aduh ..
Serem Dok ...
Semoga kita semua terhindar dari penyakit ini ya ...

Apa Kabar Dok ?

Salam saya

Suzi Leoni mengatakan...

@Pak NH
Serem bangeettt.. Na'udzubillah.. Semoga kita terhindar dari penyakit ini.. Amiinn..

Alhamdulillah kabar baik, Pak.. Terimakasih sudah berkunjung.. ^^

Unknown mengatakan...

Wah... Kalo filariasisnya uda nyebar ke pembuluh limfe, ini sengsara..Diobatin salah, gak diobatin juga salah..

Soalnya seinget saya pas diobatin pasiennya juga akan merasakan kesakitan ketika filaria nya mati.. Tapi saya lupa istilahnya apa...

Ntar coba saya inget2 dulu, lupa disebutnya reaksi apa, ntar kalo uda inget saya comment lagi LoL..

Suzi Leoni mengatakan...

@Andreas Wijaya..
Mmmm.. Sepertinya saya bertemu rekan sejawat nih.. ^^

Terimakasih sudah berkunjung..

Salam kenal yaa.. :)